Hawa Dingin “Mbedhidhing” Apakah Akibat Fenomena Aphelion?

oleh -1393 Dilihat
oleh
Pepohonan sekitarHutan Sodong dari kehidjauan mulai terlihat memerah, pertanda musim kemarau sudah datang. KH/Andri.
Pepohonan sekitarHutan Sodong dari kehidjauan mulai terlihat memerah, tanah merah mulai merekah. Pertanda musim kemarau sudah datang. KH/Andri.

KH,– Seminggu terakhir ini bersliweran  kabar di tengah masyarakat, bahwa suhu udara di wilayah Indonesia akan mengalami penurunan drastis akibat fenomena aphelion pada hari Jumat lalu (6/7/2018). Sementara itu, masyarakat memberikan istilah yang khas ketika terjadi hawa dingin yang terjadi saat memasuki musim kemarau, yaitu musim “mbedhidhing”. Mbedhiding ditandai berupa hawa dingin pada siang maupun malam yang terasa sampai menusuk tulang.

Terkait suhu dingin yang disangka disebabkan karena fenomena aphelion yang sempat meresahkan tersebut, BMKG telah mengeluarkan siaran pers agar masyarakat mendapatkan penjelasan ilmiah secara gamblang.

Dalam siaran pers BMKG, Deputi Bidang Meteorologi Mulyono R Prabowo menjelaskan, sebenarnya fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia.

Padahal pada faktanya, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir. Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan. Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan.

Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan dimana kandungan uap air di atmosfer cukup banyak, sehingga atmosfer menjadi semacam “reservoir panas” saat malam hari.

Selain itu, pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celsius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya memang berada di dataran tinggi/kaki gunung seperti Frans Sales Lega (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan), dimana suhu terendah tercatat di Frans Sales Lega (NTT) dengan nilai 12.0 derajat Celsius pada tanggal 4 Juli 2018. Sementara itu untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.

Hal ini menunjukkan bahwa fenomena aphelion memiliki pengaruh yang kurang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia, sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia akibat dari aphelion. (Andriani, ref: BMKG).

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar