Gari Art Festival II, Upaya Kembangkan Dimensi Kebudayaan Melalui Gotong-Royong

oleh -
Banner publikasi Gari Art Festival II.
Banner publikasi Gari Art Festival II.

WONOSARI, (KH),– Setelah sukses di tahun 2016, melaksanakan perhelatan perdana Gari Art Festival #1, Desa Gari, Kecamatan Wonosari kembali berencana akan menyelenggarakan kegiatan yang sama.

Desa Gari kembali akan menggelar Gari Art Festival yang ke dua kalinya. Rencananya kegiatan bertajuk Gugur Gunung Munggah Bata akan dilangsungkan di lapangan balai desa setempat pada 23 September 2017 mendatang.

Salah satu panitia sekaligus penggagas kegiatan, Septyan Nurmansyah mengatakan, pada kegiatan tersebut akan menampilkan pentas potensi 9 Padukuhan, Pasar kreatif yang berisi pameran kuliner dan kerajinan khas Desa Gari serta dan live mural (lukis dinding).

“Semoga Gari Art Festival dapat menjadi ruang berkembang dan tumbuh bersama seluruh masyarakat Desa Gari dalam mengembangkan aspek Kebudayaan di Desa Gari,” harap Nurmansyah, Jum’at, (15/9/2017).

Menurutnya, budaya merupakan media pemersatu dalam pembangunan desa. Aspek kebudayaan tersebut diantaranya adalah Kesenian, Adat Istiadat, Kuliner tradisional, Kerajinan, Bahasa, Sastra, Aksara dan permainan tradisional.

“Semua aspek budaya dapat dikemas atau disajikan dengan cara yang komunikatif baik secara segmen pertunjukan, tampilan visual maupun berbasis data,” lanjut Septyan.

Lebih jauh disampaikan, digelarnya kegiatan juga dalam rangka untuk meraih partisipasi aktif masyarakat. Dimana hal tersebut menjadi tujuan utama dalam kegiatan tersebut.

Partisipasi yang diharapkan baik dalam bentuk pertunjukan seni, workshop, gelar potensi desa; pameran potensi dusun maupun dalam sistem kepanitiaan dan menejemen event.

Secara garis besar tema Gugur Gunung Munggah Bata adalah arti dari kegotongroyongan membangun.  Gugur Gunung adalah gotong-royong. Secara turun temurun budaya gotong-royong menjadi ciri khas yang tercermin di masyarakat dalam banyak hal dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan ‘Munggah Boto’ itu sendiri adalah representasi/ penggambaran dari idiom ‘membangun’, identik dengan membangun sebuah bangunan. Penjabaran keduanya adalah sebuah kesatuan masyarakat di sebuah desa dalam berupaya secara bersama-sama membangun sebuah peradaban.

Masyarakat  desa menuju kemajuan tidaklah cukup jika hanya dilakukan satu atau dua elemen yang ada di masyarakat. “Seluruh masyarakat dapat secara bersama-sama bergotong-royong dan bahu-membahu menyumbangkan tenaga dan pikiran,” tukas Septyan. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar