Di Usia Ke-70, Mbah Surtinem Masih Rutin Setor Legendar Ke Pasar Playen

oleh -1197 Dilihat
oleh
Surtinem dengan produk kerupuk gendar buatannya. KH/ Kandar.
Surtinem dengan produk kerupuk gendar buatannya. KH/ Kandar.

WONOSARI, (KH)— Usia tak menjadi batu sandungan bagi Surtinem, perempuan sepuh warga Padukuhan Walikan, Desa Pulutan, Kecamatan Wonosari ini masih gigih menjalani usaha sebagai pembuat kerupuk Gendar, atau disebut Legendar saja.

Diusia yang sudah menginjak 70-an tahun tak membuatnya menjalani hari tua hanya dengan berpangku tangan. Karena semangat dan dorongan kebutuhan, ia masih mampu menyuplai produk buatannya sedikitnya ke lima pedagang di Pasar Playen.

Ditemui belum lama ini, dirinya menuturkan, usaha sebagai pembuat kerupuk Gendar dimulai pasca gempa hebat yang mengguncang Gunungkidul dan DIY tahun 2006 silam. Sebelumnya, ia mengaku menjadi pedagang di Pasar Wonosari, lantas setelah gempa terjadi ia memutuskan untuk berhenti.

“Setiap hari pasaran Legi, sekitar 10-an kilogram saya setor kerupuk Gendar ke Pasar Playen,” tuturnya. Janda beranak dua ini menyebutkan, usaha yang dijalani mampu menaikkan harga satu kali lipat lebih tinggi setelah bahan baku menjadi produk jadi.

Tiap se-pasar (5 hari pasaran) sekali ia menghabiskan bahan baku beras sebanyak 10 kilogram. Beras jatah (Raskin) sebanyak itu ia tebus dengan uang Rp. 50 ribu, kemudian setelah menjadi produk Legendar akan memperoleh uang Rp. 100 ribu dari hasil penjualan.

Lebih lanjut disampaikan, hal itu dilakukan untuk mengisi hari tua. Disamping itu ia tak ingin merepotkan anak-anaknya yang telah memiliki keluarga masing-masing. Selama fisiknya masih kuat pantang baginya menengadahkan tangan kepada anak-anaknya.

“Ya buat kebutuhan makan minum sehari-hari. Tidak sedikit pula untuk kebutuhan nyumbang atau jagong,” ungkapnya.

Benar apa yang disampaikan Surtinem, bagi masyarakat Gunungkidul biaya kebutuhan menghadiri hajatan tetangga dan kerabat menjadi salah satu mata anggaran pengeluaran keluarga dengan jumlah yang tidak sedikit. Terlebih saat bulan-bulan baik, dimana masyarakat banyak menggelar berbagai hajatan, sehingga sering disebut musim jagongan atau nyumbang.

Surtinem menganggap, memang kebiasaan umum sanak atau dalam arti bersosialisasi, bersama warga lain memberikan doa restu dan uang sumbangan ke si pemilik hajat sudah menjadi sebuah budaya turun temurun. Jika tidak dilakukan maka akan di cap atau mendapat label tidak sama dengan yang lain (ora umum). (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar