Ayo Kembali Mencintai Telaga, Blumbang, dan Sungai

oleh -1253 Dilihat
oleh
Telaga yang mulai berkurang airnya. Foto : Kandar
Berfungsinya kembali Telaga Motoendro sangat membantu pemenuhan kebutuhan air warga Temuireng. Foto: Kandar.
Berfungsinya kembali Telaga Motoendro sangat membantu pemenuhan kebutuhan air warga Temuireng. Foto: Kandar.

KABARHANDAYANI — Saat ini semua wilayah Pulau Jawa telah memasuki musim kemarau. Cadangan air di telaga, kolam, embung, blumbang, juga sungai-sungai di sekitar desa terasa sudah berkurang. Muka air sumur di rumah-rumah juga menyusut makin dalam. Bak-bak tandon air penampung air hujan mungkin sudah beberapa kali diisi dengan “air setoran truk tangki”. Susutnya air dalam tanah tak hanya terjadi di Gunungkidul. Di wilayah ngare di Kota Yogyakarta pun juga merasakan dampak berkurangnya air dalam tanah.

Kembali ke Gunungkidul, kekeringan yang melanda wilayah Guungkidul sejatinya memang sudah menjadi kemestian sebuah wilayah karst (pegunungan kapur). Aneka kisah dan cerita tutur para sesepuh desa atau dusun membuktikan bahwa dahulu kekeringan itu menjadi “makanan sehari-hari” para leluhur. Tanpa keluh kesah, tanpa misuh-misuh mengumpat, mereka berjalan kilo-an meter ke sumber-sumber air telaga, sungai atau goa untuk mendapatkan air demi aneka keperluan hidupnya.

Kemajuan jaman tanpa disadari terkadang tidak diikuti dengan kesadaran memetik semangat dan daya juang dari para leluhur. Padahal mereka setia melakoni hidup di tanah pegunungan ini penuh tantangan dan kesulitan ini. Saat ini, umpatan, cercaan, pisuhan terkadang begitu mudah dikeluarkan manakala kesulitan mendapatkan sumber daya air mendera di musim kering. Entah itu dalam ungkapan ketidakpuasan layanan PDAM, ketidakpuasan kepada pemerintah karena tidak melakukan dropping air gratis, tidak adanya dermawan yang melakukan dropping air gratis, dan lain-lainnya, dan sebagainya.

KH-Swara memang tidak turut dalam paradigma perjuangan untuk melanggengkan pemenuhan kebutuhan air dengan cara dropping air gratis, entah dari para dermawan maupun dari pemerintah. Karena sejatinya masyarakat diwarisi tradisi para lelulur untuk memecahkan problema mendapatkan sumber daya air dengan tetap BERDIKARI, berdiri di atas kaki sendiri. Ngangsu ke telaga, belik, goa sumber air, dan apabila perlu juga tumbas (membeli) air adalah sebuah kewajaran.

Membeli air sejatinya merupakan kewajaran, tetapi di sisi lain bergeser “dipandang” menjadi ketidakwajaran ketika mana terdapat “charity program“. Terdapat dropping air gratis entah dari para dermawan ataupun dari pemerintah. Langkah ini bukanlah hal yang keliru, tetapi menjadi sebuah “langkah penimbul permasalahan baru yang lebih pelik”. Yaitu ketika mindset berubah menjadi ndremis untuk meminta-minta tanpa mau berusaha, menggantungkan diri pada pertolongan pihak lain, protes atau misuh apabila tidak didrop air secara gratis, dan sebagainya, dan seterusnya.

Sesungguhnya, para leluhur dahulu kala telah mewariskan kebijakan dan kebajikan untuk senantiasa niteti dan berusaha memenuhi kebutuhan hidup dari sumber daya alam yang ada. Kerakusan dan mungkin juga ketidakpercayaan diri dengan berbungkus alasan modernitaslah yang membuat sikap menjadi malas, manja, mudah mengomel, berpandangan apabila air tidak mancur dari pipa air bersih di setiap rumah belumlah hidup secara modern dan layak. Lha, siapa sebenarnya yang mengharuskan?

Mari kembali belajar kepada leluhur bagaimana mereka mengusahakan sumber daya air di wilayah karst untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bacaan ini lumayan panjang dan perlu dibaca pelan-pelan agar terpahami dengan gamblang dan menyeluruh. Silakan klik http://swarawarga.com/sudah-optimalkah-kita-memanen-air-hujan/. Boleh didebat, boleh tidak setuju, tetapi bacaan ini disajikan dengan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam rumpun keilmuan terkait.

Jihan Riza Islami, seorang penulis muda dari Wonosari juga telah melengkapi dengan memberikan catatan bagaimana wilayah pegunungan kapur di Gunungkidul begitu dikagumi oleh seorang peneliti berkebangsaan Jerman FW Junghuhn. Ia telah melakukan perjalanan penelitian sampai di wilayah Rongkop pada tahun 1850-an. Hasil penelitiannya menjadi rujukan pemerintah Hindia Belanda saat itu, juga menjadi rujukan sampai kini. Baca di sini: http://swarawarga.com/goenoeng-sewoe-1-tahun-1850an-junghuhn-sudah-mengeksplorasi-gunungkidul/.

Permukiman-permukiman awal di perdesaan dapat dipastikan senantiasa dekat dengan telaga, embung, tuk, sungai, goa sumber air. Kedekatan itu dapat ditelisik dengan tapak-tapak permukiman awal yang dekat dengan sumber-sumber tersebut. Juga dapat ditelisik dari tradisi-tradisi yang memuliakan sumber-sumber air dengan bersih kali, bersih telaga, dan kemudian menjadi bersih desa yang lebih beken dengan istilah rasulan. Nah, jangan-jangan rasulan itu dipahami sebatas sebagai acara berkunjung rame-rame untuk menikmati kudapan sayur lombok ijo, opor ayam, nonton pentas reog jathilan atau pentas campursari atau wayangan saja? Memuliakan sumber-sumber air adalah warisan para leluhur yang dalam modernitas disebut sebagai langkah-langkah pemanfaatan dan konservasi sumber daya air.

Mari bersama-sama menempuh musim kemarau dengan semangat dan penuh kegembiraan. Mencintai dan memanfaatkan telaga, blumbang, dan sungai bukanlah langkah mundur menjadi ndesit tidak modern. Mencintai (baca: merawat dan melestarikan telaga, vegetasi dan biota di sekitarnya) dan memanfaatkan telaga, blumbang dan sungai adalah sebuah langkah kemestian. Menjadi lucu dan ironis ketika ada kejadian anak naas tewas kecemplung telaga atau blumbang, lantas kemudian mengambil kebijakan dan langkah nyata menutup telaga atau blumbang tersebut dengan bebatuan dan tanah.

___________

Penulis: J Yanuwidiasta.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar