Asal-Muasal Tradisi Besik Telaga Jonge Semanu

oleh -3196 Dilihat
oleh
Persiapan menjelang kenduri Besik Telaga Jonge. KH
Persiapan menjelang kenduri Besik Telaga Jonge. KH
Persiapan menjelang kenduri Besik Telaga Jonge. KH

SEMANU, (KH)— Jumat Legi, (19/8/2016) lalu masyarakat sekitar Telaga Jonge Kecamatan Semanu menyelenggarakan tradisi “Besik Telaga Jonge”. Sejak zaman dahulu tradisi ini turun temurun dilaksanakan sepeinggal Kyai Jonge hingga saat ini.

Kawasan telaga yang memiliki luas sekitar 3 Ha itu dikelilingi pepohonan yang rindang, masyarakat sekitar sependapat bahwa telaga Jonge bukanlah telaga biasa. Salah satu buktinya, masyarakat percaya untuk selalu melaksanakan tradisi besik telaga atau upacara kenduri di sekitar makam/ petilasan Kyai Jonge, yang memiliki latarbelakang adanya cerita serta pesan turun temurun dari Kyai Jonge sendiri.

Beberapa waktu lalu, juru kunci atau perawat makam, Ridwan menuturkan, keberadaan telaga memang sudah terkenal hingga ke luar wilayah Gunungkidul. Banyak pegunjung atau tamu peziarah dari berbagai kota seperti Solo, Klaten, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan lainnya.

“Para tamu ingin berziarah, menjalani laku prihatin, meditasi, berminajat, dan menenangkan fikiran, karena perawatan oleh masyarakat sekitar Telaga Jonge mamang memiliki suasana asri, teduh dan sejuk. Airya juga tak pernah kering berkat perawatan masyarakat sekelilig dari Padukuhan Kuwangen, Jelok, Wilayu, dan sekitarnya,” urai Ridwan.

Adanya tradisi, berdasar penuturan juru rawat yang telah bertugas sejak 2006 ini berawal dari cerita Raja Majapahit terakhir yakni Brawijaya V, dikisahkan ia memiliki anak benama Raden Patah. Suatu ketika Prabu Brawijaya V mendapat firasat bahwa Kerajaan Majapahit akan runtuh oleh tangan anakya sendiri.

Maka bersama punggawa kerajaan, Brawijaya V megadakan musyawarah. Ditengah-tengah berunding Raden Patah datang dari Demak Bintaro yang diutus oleh Wali Songo agar mengajak Brawijaya ayahnya untuk ikut bergabung.

Tetapi tekad bulat Brawijaya bersama punggawa yang setia disampaikan, bahwa mereka tidak bersedia bergabung. Karena itu terjadilah perselisihan. Karena sudah mendapat firasat, maka Brawijaya memilih meninggalkan Majapahit bersama pengikutya yang masih setia.

Setelah itu, lanjut Ridwan, terjadilah kejar kejaran atara Raden Patah dengan sesepuh Majapahit bernama Ki Sidik Wacono yang pada waktu itu juga meninggalkan Majapahit. Ki Sidik Wacono bersama 6 pengikutya berlari kearah selatan, tanpa diduga teryata dibuntuti oleh satu prajurit pengikut Raden Patah.

Terus berlari tak terasa mereka sampai di pinggir lautan, melihat ada perahu kecil (jawa: Jong) tanpa pemilik lantas mereka bertujuh menggunakannya demi terlepas dari kejaran prajurit Raden Patah. Benar saja, prajurit kehilangan jejak lantas kembali tanpa hasil.

Perahu kecil yang membawa rombongan Ki Sidik Wacono tak terasa cukup jauh meninggalkan pantai, malang sebuah musibah terjadi, perahu itu dihantam ombak besar dan tenggelam. Semangat yang besar untuk selamat ditunjukkan Ki Sidik Wacono dan pegikutnya, mereka berusaha keras berenang ke pinggir.

Dengan bersusah payah akhirnya semua selamat sampai di daratan, denga kondisi badan yang sangat kelelahan mereka beristirahat di bawah Pohon Joho yang berjumlah tujuh. Ditengah kelelahan, Ki Sidik Wacono bersama pengikutya bercakap, membicarakan kembali apa yang telah dilalui bersama, sebuah musibah yang mengancam nyawa dapat dilalui, perahu kecil atau Jong yang tenggelam menjadi penyebab dan alasan Ki Sidik Wacono merubah namanya, ia berganti nama menjadi Kyai Jonge.

“Nama baru Kyai Jonge diharapkan menjadi pengingat peristiwa bahwa mereka telah mampu melalui musibah besar, setelah Jong tenggelam mereka bersama-sama berenang ke tepian laut dan berkumpul bersama lagi dengan selamat,” tutur Ridwan.

Tidak berselang lama muncullah prajurit yang sebelumnya melakukan pengejaran, lantas bertanya kepada Kyai Jonge dan pengikutnya, tetapi dijawab tidak ada siapapun selain mereka di tempat tersebut, tidak ada orang-orang sebagaimana dimaksud prajurit. Tanpa curiga prajurit kembai pergi.

Kyai Jonge Jonge melanjutkan pembicaraan, untuk menjadi pengingat juga mengenai peristiwa tersebut, ia memberikan nama tempat mereka beristirahat, karena berada di bawah pohon Joho tujuh (jawa: pitu) maka tempat itu dinamai Desa Joho Pitu atau disebut pula Desa Jepitu.

Kemudian, sambung cerita Ridwan, mereka meneruskan perjalanan sediri-sendiri mencari hidup masing-masing. 4 teman menuju tempat lain, sedangkan Kyai Jonge bersama dua temannya, bernama Ki Dipo Kusumo dan Ki Yudo Kusumo meneruskan perjalanan kearah barat.

Kemudian Ki Yudo Kusumo menempati Ndloko lantas tenar dengan sebutan Ki Barat (Ki Ancak Barat), sedangkan Ki Sidik Wacono menempati Cabean, memiliki sebuta Ki karotangan. Sementara itu Kyai Jonge menempati Menthel, ia juga tinggal dan bertani di wilayah Kuwangen.

Kyai Jonge memang terkenal pribadi cerdik dan pandai, serta menguasai ilmu olah pertanian, karena itu banyak warga setempat yang ingin berguru kepadanya. Sebelum bersedia menerima mejadi murid, Kyai Jonge menawarkan beberapa syarat kepada warga yang meminta berguru.

“Syaratnya, ilmu yang didapat harus bermanfaat kepada anak keturunan kelak, bukan untuk kepentingan pribadi. Permintaan lainnya, apabila ia telah meninggal meminta dikuburkan tidak jauh dari tempatnya tinggal/ bertani tersebut (Kuwangen),” papar Ridwan.

Serta, Kyai Jonge juga berwasiat, para murid diminta memperingati hari kematiannya, serta berpesan apabila memiliki keinginan maka memintalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan berdoa disekitar makamnya.

Singkatnya, warga cukup senang menjadi murid, mereka akan menjalankan apa yang diminta Kyai Jonge. Tak berselang lama setelah Kyai Jonge berwasiat ia pu meninggal. Jasad yang hendak dikuburkan di Kuwangen sempat menjadi rebutan dengan Warga Menthel yang meminta untuk dikubur didaerahnya, namun pada akhirnya setelah melalui perdebatan Jasad dikuburkan di Kuwangen.

Dengan perasaan kecewa, warga Menthel menyumpahi bahwa semenjak saat itu mereka menyatakan tidak ada persaudaraan lagi. Upacara pemakaman dilakukan, Kyai Joge dikubur di lokasi sebagaimana diwasiatkan.

Tidak berselang lama terjadilah hujan lebat disertai angin, tingginya curah hujan membuat makam Kyai Jonge ambles, berubah menjadi telaga, disebutlah menjadi Telaga Jonge. Waktu berjalan, sebagaimana permintaan Kyai Jonge, warga sekitar telaga mengadakan tradisi Besik Telaga (upacara kenduri) pada hari Jumat legi sesuai hari kematian Kyai Jonge. Pada hari itu pula banyak peziarah datang, menyendiri, berdoa-mendoakan, introspeksi, dan menenangkan pikiran sejenak di pendopo makam Kyai Jonge. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar